Revolusi
Hijau yang digulirkan pada era tahun
1960an dan 1970an di banyak negara di Asia
membawa paket modernisasi pertanian. Bibit unggul, teknologi pertanian, irigasi
yang lebih baik, dan pupuk kimia adalah paket yang ditawarkan. Sayangnya, paket
yang bertujuan untuk meningkatkan panen beras menjadi dua kali dalam setahun
ini tidak memperhatikan aspek gender dan status sosial petani. Akibatnya
kesuksesan yang didapat harus dibayar dengan penderitaan dan tersingkirnya
petani miskin, terutama para perempuan petani.
Apa yang Terjadi pada
Revolusi Hijau?
Kebijakan revolusi hijau telah mengubah pola pertanian
lokal. Jika sebelum kebijakan itu diterapkan, petani menggunakan tenaga kerja
manusia dan ternak, bibit, dan pupuk kandang buatan rumah tangga petani. Maka
pada revolusi hijau selain terjadi mekanisasi pertanian juga telah mendorong
perubahan pola tanam karena paket kredit pupuk dan bibit diperuntukkan untuk
para petani pemilik lahan mininal dengan luas 1 ha. Akibatnya jumlah
pengangguan meningkat. Hal ini bukan saja karena mekanisasi pertanian telah
menggantikan pekerjaan yang semula dikerjakan oleh buruh tani, tetapi juga
banyak petani kecil akhirnya harus menjual tanahnya karena antara biaya
produksi dan hasil yang diperolehnya tidak sesuai atau merugi.
Selain itu, lumbung desa yang dikelola oleh masyarakat
sebagai kas pangan saat paceklik atau gagal panen pun diganti pemerintah dengan
sistem Koperasi Unit Desa (KUD) yang kemudian dikuasai oleh para birokrat.
Kondisi ini menyebabkan kedaulatan pangan diambil alih menjadi urusan
pemerintah atau birokrasi. Akhirnya, banyak petani miskin yang tersingkir
karena tidak siap menerima perubahan yang ditimbulkan oleh modernisasi.
Apa Dampaknya bagi
Perempuan Petani?
Satu dari konsekuensi dramatis Revolusi hijau adalah hilangnya kesempatan kerja dari
perempuan miskin pedesaan. Selain itu,
revolusi hijau yang ditandai oleh adanya mekanisasi di bidang pertanian telah
menghapuskan peran ekonomi perempuan yang secara tradisional menjadi bidangnya.
Menyemai bibit, menabur pupuk, dan menuai padi adalah pekerjaan perempuan
petani. Namun mekanisasi telah menggantikannya.
Revolusi Hijau juga
telah membuat buruh-buruh perempuan tidak lagi terlibat dalam kegiatan
paska panen. Hal ini disebabkan masuknya huller (mesin penggiling
bermotor) menggeser peran tradisional
perempuan pedesaan sebagai penumbuk padi. Kondisi itu mengakibatkan banyak
perempuan pedesaan yang termarginalisasi. Partisipasi tradisional mereka
sebagai pekerja di sawah menjadi tersingkir. Konsekuensi dari keadaan itu
adalah peran produktif perempuan pedesaan yang telah tinggi partisipasinya
dalam aktivitas ekonomi berubah menjadi lemah bahkan sama sekali ditiadakan.
Food Agriculture Organization (FAO) memperkirakan bahwa
pengenalan huller yang diterapkan di
Jawa pada saat itu telah mengakibatkan 1,2 juta perempuan yang tidak memiliki
lahan kehilangan pekerjaan. Akibat dari hal ini, ditambah lagi dengan
minimnya ketrampilan dan pendidikan yang
dimiliki perempuan pedesaan membuat mereka
pergi ke kota
menjadi buruh-buruh murah atau pekerja seks komersial. Terdamparnya mereka ke kota telah menambah
barisan atau orang miskin perkotaan. Inilah yang dikenal dengan konsep
pemiskinan perempuan.
Situasi di atas jelas menandakan bahwa revolusi hijau
yang dirancang tidak memperhitungkan aspek gender. Pembangunan pertanian yang
di Indonesia
mencapai puncaknya dengan swasembada pangan itu tidak didesain sesuai dengan
kebutuhan petani miskin dan perempuan. Terbukti, angka kurang gizi dan
kemiskinan masih tetap tinggi dan distribusi makanan tetap tidak terpenuhi pada
keluarga-keluarga yang tidak memiliki lahan. Studi FAO tentang dampak revolusi
hijau menunjukkan bahwa petani yang status sosialnya baik telah mendapatkan
pendapatan yang lebih baik dengan kebijakan revolusi hijau. Namun sebaliknya,
petani miskin menjadi kehilangan akses untuk mendapatkan penghasilan, padahal
sebelum kebijakan itu diterapkan akses itu cukup tersedia. Demikianlah
kebijakan revolusi hijau seharusnya menjadi pelajaran bagi para perencana
pembangunan.
PERKEMBANGAN REVOLUSI
HIJAU, TEKNOLOGI dan INDUSTRIALISASI
Kebijakan modernisasi pertanian pada masa Orde baru
dikenal dengan sebutan Revolusi Hijau.
Revolusi Hijau merupakan perubahan cara bercocok tanam
dari cara tradisional ke cara modern.
Revolusi Hijau (Green Revolution) merupakan suatu
revolusi produksi biji-bijian dari hasil penemuan-penemuan ilmiah berupa benih
unggul baru dari berbagai varietas, gandum, padi, dan jagung yang mengakibatkan
tingginya hasil panen komoditas tersebut.
Tujuan Revolusi hijau adalah mengubah petani-petani gaya lama (peasant) menjadi petani-petani gaya
baru (farmers), memodernisasikan pertanian gaya lama guna memenuhi industrialisasi
ekonomi nasional. Revolusi hijau ditandai dengan semakin berkurangnya
ketergantungan para petani pada cuaca dan alam karena peningkatan peran ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam peningkatan produksi bahan makanan.
Latar belakang munculnya revolusi Hijau adalah karena
munculnya masalah kemiskinan yang disebabkan karena pertumbuhan jumlah penduduk
yang sangat pesat tidak sebanding dengan peningkatan produksi pangan. Sehingga
dilakukan pengontrolan jumlah kelahiran dan meningkatkan usaha pencarian dan
penelitian binit unggul dalam bidang Pertanian. Upaya ini terjadi didasarkan
pada penelitian yang dilakukan oleh Thomas Robert Malthus.
Upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk
menggalakan revolusi hijau ditempuh dengan cara :
1. Intensifikasi Pertanian
Intensifikasi Pertanian di Indonesia dikenal dengan nama
Panca Usaha Tani yang meliputi :
a. Pemilihan Bibit Unggul
b. Pengolahan Tanah yang
baik
c. Pemupukan
d. Irigasi
e. Pemberantasan Hama
2. Ekstensifikasi Pertanian
Ekstensifikasi pertanian, yaitu Memperluas lahan tanah yang dapat ditanami
dengan pembukaan lahan-lahan baru (misal mengubah lahan tandus menjadi lahan
yang dapat ditanami, membuka hutan, dsb).
3. Diversifikasi Pertanian
Usaha penganekaragaman jenis tanaman pada suatu lahan
pertanian melalui sistem tumpang sari. Usaha ini menguntungkan karena dapat
mencegah kegagalan panen pokok, memperluas sumber devisa, mencegah penurunan
pendapatan para petani.
4. Rehabilitasi Pertanian
Merupakan usaha pemulihan produktivitas sumber daya
pertanian yang kritis, yang membahayakan kondisi lingkungan, serta daerah rawan
dengan maksud untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di daerah tersebut.
Usaha pertanian tersebut akan menghasilkan bahan makanan dan sekaligus sebagai
stabilisator lingkungan.
Pelaksanaan Penerapan
Revolusi Hijau:
Ø Pemerintah memberikan
penyuluhan dan bimbingan kepada petani.
Ø Kegiatan pemasaran
hasil produksi pertanian berjalan lancar sering perkembangan teknologi dan
komunikasi.
Ø Tumbuhan yang ditanam
terspesialisasi atau yang dikenal dengan monokultur, yaitu menanami lahan
dengan satu jenis tumbuhan saja.
Ø Pengembangan teknik
kultur jaringan untuk memperoleh bibit unggul yang diharapkan yang tahan
terhadap serangan penyakit dan hanya cocok ditanam di lahan tertentu.
Ø Petani menggunakan
bibit padi hasil pengembagan Institut Penelitian Padi Internasional
(IRRI=International Rice Research Institute) yang bekerjasama dengan
pemerintah, bibit padi unggul tersebut lebih dikenal dengan bibit IR.
Ø Pola pertanian berubah
dari pola subsistensi menjadi pola kapital dan komersialisasi.
Ø Negara membuka
investasi melalui pembangunan irigasi modern dan pembagunan industri pupuk
nasional.
Ø Pemerintah mendirikan
koperasi-koperasi yang dikenal dengan KUD (Koperasi Unit Desa).
Dampak Positif Revolusi Hijau :
- Memberikan lapangan kerja bagi para petani maupun buruh pertanian.
- Daerah yang tadinya hanya dapat memproduksi secara terbatas dan hanya untuk memenuhi kebutuhan minimal masyarakatnya dapat menikmati hasil yang lebih baik karena revolusi hijau.
- Kekurangan bahan pangan dapat teratasi.
- Sektor pertanian mampu menjadi pilar penyangga perekonomian Indonesia terutama terlihat ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi sehingga orang beralih usaha ke sektor agrobisnis.
- Dampak Negatif Revolusi Hijau :
- Muncullah komersialisasi produksi pertanian
- Muncul sikap individualis dalam hal penguasaan tanah
- Terjadi perubahan struktur sosial di pedesaan dan pola hubungan antarlapisan petani di desa dimana hubungan antar lapisan terpisah dan menjadi satuan sosial yang berlawanan kepentingan.
- Memudarnya sistem kekerabatan dalam masyarakat yang awalnya menjadi pengikat hubungan antar lapisan.
- Muncul kesenjangan ekonomi karena pengalihan hak milik atas tanah melalui jual beli.
- Harga tanah yang tinggi tidak terjangkau oleh kemampuan ekonomi petani lapisan bawah sehingga petani kaya mempunyai peluang sangat besar untuk menambah luas tanah.
- Muncul kesenjangan sosial karena kepemilikan tanah yanmg berbeda menyebabkan tingkat pendapatanpun akan berbeda.
- Muncul kesenjangan yang terlihat dari perbedaan gaya bangunan maupun gaya berpakaian penduduk yang menjadi lambang identitas suatu lapisan sosial.
- Mulai ada upaya para petani untuk beralih pekerjaan ke jenis yang lain seiring perkembagan teknologi.
INDUSTRIALISASI DI INDONESIA
Revolusi Hijau ini menyebabkan upaya untuk melakukan
modernisasi yang berdampak pada perkembangan industrialisasi yang ditandai
dengan adanya pemikiran ekonomi rasional. Pemikiran tersebut akan mengarah pada
kapitalisme.
Dengan industrialisasi juga merupakan proses budaya
dimana dibagun masyarakat dari suatu pola hidup atau berbudaya agraris
tradisional menuju masyarakat berpola hidup dan berbudaya masyarakat industri.
Perkembangan industri tidak lepas dari proses perjalanan panjang penemuan di
bidang teknologi yang mendorong berbagai perubahan dalam masyarakat.
Upaya pemerintah untuk meningkatkan industrialisasi adalah :
- Meningkatkan
perkembangan jaringan informasi, komunikasi, transportasi untuk memperlancar
arus komunikasi antarwilayah di Nusantara.
- Mengembangkan
industri pertanian
- Mengembangkan
industri non pertanian terutama minyak dan gas bumi yang mengalami kemajuan
pesat.
- Perkembangan
industri perkapalan dengan dibangun galangan kapal di Surabaya yang dikelola olrh PT.PAL Indonesia.
- Pembangunan Industri
Pesawat Terbang Nusantara(IPTN) yang kemudian berubah menjadi PT. Dirgantara Indonesia.
- Pembangunan kawasan
industri di daerah Jakarta, Cilacap, Surabaya, Medan,
dan Batam.
- Sejak tahun 1985
pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi di bidang industri dan investasi.
Industrialisasi di Indonesia ditandai oleh :
- Tercapainya efisiensi dan efektivitas kerja.
- Banyaknya tenaga kerja terserap ke dalam sektor-sektor industri.
- Terjadinya perubahan pola-pola perilaku yang lama menuju pola-pola perilaku yang baru yang bercirikan masyarakat industri modern diantaranya rasionalisasi.
- Meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat di berbagai daerah khususnya di kawasan industri.
- Menigkatnya kebutuhan masyarakat yang memanfaatkan hasil-hasil industri baik pangan, sandang, maupun alat-alat untuk mendukung pertanian dan sebagainya.
Dampak positif industrialisasi adalah tercapainya
efisiensi dan efektifitas kerja.
Adanya kemajuan teknologi serta terpenuhinya seluruh kebutuhan masyarakat.
Dampak negatif dari industrialisasi adalah Munculnya
kesenjangan sosial dan ekonomi yang ditandai oleh kemiskinan serta Munculnya
patologi sosial (penyakit sosial) seperti kenakalan remaja dan kriminalitas.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar